Sejak hal itu berlalu sehasta saja, tetiba ada sesuatu yang mengendap di dinding kalbu.
Mencoba menamainya, tapi tak kuasa...
Mencoba mengusirnya, tapi dia enggan enyah...
Maka biarlah dia -yang mengendap itu- kerasan disini. dikalbuku.
Lalu dimana akal sehat yang semula singgah di pikirku? mengapa dia biarkan -yang mengendap- itu teteskan airmata satu-satu?
Semula malu-malu aku pilin segaris senyum. tapi seiring hari, aku rajin menghujani pipi...
Hingga aku mengerti apa yang aku ingini; bersua dan bertegur sapa.
oh, aku mengerti... baiknya aku namai saja dia, setidaknya dia yang mengendapi kalbuku dan mulai merajainya. baiklah, dia itu Rindu. Rindu itu Kamu.